ketika menonton salah satu acara yang di siarkan oleh salah satu stasiun televisi, seorang anak punk dihipnotis untuk mengeluarkan uneg-unegnya. dan dia berkata " tolong pak polisi jangan seenaknya memukuli kami, kalaupun kami melakukan kesalahan bisa ga tidak main kekerasan toh kami pun manusia". ironis sekali, apakah hanya karena mereka anak punk lantas mereka tidak layak mendapatkan perlakuan yang manusiawi? atau perlakuan yang manusiawi itu hanya untuk orang-orag berduit saja?
lantas apakah peran pemerintah untuk mengatasi masalah tersebut? bukankah keberadaan mereka di lindungi oleh undang-undang yang ada?
mari flash back dulu, kalu dilihat dari faktor sejarah Punk merupakan sub-budaya yang lahir di London, Inggris. Pada awalnya, kelompok punk selalu dikacaukan oleh golongan skinhead. Namun, sejak tahun 1980, saat punk merajalela di Amerika, golongan punk dan skinhead seolah-olah menyatu, karena mempunyai semangat yang sama. Namun, Punk juga dapat berarti jenis musik atau genre yang lahir di awal tahun 1970. Punk juga bisa berarti ideologi hidup yang mencakup aspek social dan politik. Gerakan anak muda yang diawali oleh anak-anak kelas pekerja ini dengan segera merambah Amerika yang mengalami masalah ekonomi dan keuangan yang dipicu oleh kemerosotan moral oleh para tokoh politik yang memicu tingkat pengangguran dan kriminalitas yang tinggi. Punk berusaha menyindir para penguasa dengan caranya sendiri, melalui lagu-lagu dengan musik dan lirik yang sederhana namun terkadang kasar, beat yang cepat dan menghentak. Punk juga merupakan sebuah gerakan perlawanan anak muda yang berlandaskan dari keyakinan we can do it ourselves. Penilaian punk dalam melihat suatu masalah dapat dilihat melalui lirik-lirik lagunya yang bercerita tentang masalah politik, lingkungan hidup, ekonomi, ideologi, sosialdan bahkan masalah agama.
tapi sayangnya punk yang berkembang di Indonesia saat ini yaitu punk fasionable saja. mereka hanya mengadopsi fasionnya saja atau kulit dari punk itu sendiri. seperti potongan rambut mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan diwarnai dengan warna-warna yang terang, sepatu boots, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh, anti kemapanan, anti sosial, kaum perusuh dan kriminal dari kelas rendah, pemabuk berbahaya sehingga banyak yang mengira bahwa orang yang berpenampilan seperti itu sudah layak untuk disebut sebagai punker.
kegagalan Reaganomic dan kekalahan Amerika Serikat dalam Perang Vietnam di tahun 1980-an turut memanaskan suhu dunia punk pada saat itu. Band-band punk gelombang kedua (1980-1984), seperti Crass, Conflict, dan Discharge dari Inggris, The Ex dan BGK dari Belanda, MDC dan Dead Kennedys dari Amerika telah mengubah kaum punk menjadi pemendam jiwa pemberontak (rebellious thinkers) daripada sekadar pemuja rock n’ roll. Ideologi anarkisme yang pernah diusung oleh band-band punk gelombang pertama (1972-1978), antara lain Sex Pistols dan The Clash, dipandang sebagai satu-satunya pilihan bagi mereka yang sudah kehilangan kepercayaan terhadap otoritas negara, masyarakat, maupun industri musik, dan sayangnya di Indonesia istilah anarki, anarkis atau anarkisme digunakan oleh media massa untuk menyatakan suatu tindakan perusakan, perkelahian atau kekerasan massal. Padahal menurut para pencetusnya, yaitu William Godwin, Pierre-Joseph Proudhon, dan Mikhail Bakunin, anarkisme adalah sebuah ideologi yang menghendaki terbentuknya masyarakat tanpa negara, dengan asumsi bahwa negara adalah sebuah bentuk kediktatoran legal yang harus diakhiri.(wikipedia indonesia)
Negara menetapkan pemberlakuan hukum dan peraturan yang sering kali bersifat pemaksaan, sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan bila dominasi negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.
Kaum punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka. Punk etika semacam inilah yang lazim disebut DIY (do it yourself/lakukan sendiri).
Negara menetapkan pemberlakuan hukum dan peraturan yang sering kali bersifat pemaksaan, sehingga membatasi warga negara untuk memilih dan bertanggung jawab atas pilihannya sendiri. Kaum anarkis berkeyakinan bila dominasi negara atas rakyat terhapuskan, hak untuk memanfaatkan kekayaan alam dan sumber daya manusia akan berkembang dengan sendirinya. Rakyat mampu memenuhi kebutuhan hidupnya sendiri tanpa campur tangan negara.
Kaum punk memaknai anarkisme tidak hanya sebatas pengertian politik semata. Dalam keseharian hidup, anarkisme berarti tanpa aturan pengekang, baik dari masyarakat maupun perusahaan rekaman, karena mereka bisa menciptakan sendiri aturan hidup dan perusahaan rekaman sesuai keinginan mereka. Punk etika semacam inilah yang lazim disebut DIY (do it yourself/lakukan sendiri).
berlandaskan pada konsep DIY tersebut, bisa jadi inilah konsep awal dari distro-distro yang menjamur di berbagai kota besar indonesia.
"Kita hidup dari komunitas kita sendiri (dengan) memproduksi kaus, emblem bahkan album rekaman dan itu tidak merugikan orang lain kan," yakin Andhi yang bekerja sebagai pegawai negeri sipil.
Latar belakang kehidupan punk yang bermacam-macam inilah yang membuat mereka unik. Ada yang menjadi pelajar, mahasiswa, dosen, pemain band, penerbit buku bahkan seperti Andhi yang pegawai negeri sipil. Inilah sumber kreativitas mereka karena tidak tergantung dari pemikiran yang sama, tetapi mempunyai semangat yang sama atas kemandirian.
Banyak sekali kontribusi lain yang diberikan seperti membersihkan kali atau musala yang rutin mereka lakukan bahkan di Yogyakarta kelompok Taring Padi memberikan pelajaran Bahasa Inggris, les gambar, dan membuka perpustakaan umum dengan tujuan mendekatkan komunitas punk dengan masyarakat.(Satyagraha,Punk Bukan Sekadar Preman Jalanan,(jakarta:kompas),11 Mei 2009)
Latar belakang kehidupan punk yang bermacam-macam inilah yang membuat mereka unik. Ada yang menjadi pelajar, mahasiswa, dosen, pemain band, penerbit buku bahkan seperti Andhi yang pegawai negeri sipil. Inilah sumber kreativitas mereka karena tidak tergantung dari pemikiran yang sama, tetapi mempunyai semangat yang sama atas kemandirian.
Banyak sekali kontribusi lain yang diberikan seperti membersihkan kali atau musala yang rutin mereka lakukan bahkan di Yogyakarta kelompok Taring Padi memberikan pelajaran Bahasa Inggris, les gambar, dan membuka perpustakaan umum dengan tujuan mendekatkan komunitas punk dengan masyarakat.(Satyagraha,Punk Bukan Sekadar Preman Jalanan,(jakarta:kompas),11 Mei 2009)
dengan peran pemerintah, para tokoh masyarakat, dan tentunya masyarakat itu sendiri kita berharap anak-anak punk bisa berada pada jalur kekreatifan bukan di kenegatifan. seperti yang di lakukan oleh pendahulu-pendahulu mereka. karena sebenarnya yang mereka butuhkan adalah pengakuan "penghargaan" dari masyarakat atas ke eksistensian mereka. mereka bukan untuk di jauhi tapi perlu kita rangkul agar tidak terjebak oleh kenyataan yang salah. dan kita pun turut berperan atas kesalahan yang telah mereka lakukan, karena kita hanya memandang sebelah mata.
dan saya sangat berharap sekali kepada para tokoh agama ataupun para ustadz untuk mau turun ke jalan dan memberikan pengarahan kepada mereka, jangan hanya memberi ceramah di majelis ta'lim ibu-ibu yang ada di komplek saja. meskipun itu penting tapi mereka sedikitnya telah mengetahui ajaran islam, beda dengan mereka yang ada di jalanan. mereka lebih membutuhkannya sehingga islam yang rahmatan lil alamin bisa mereka rasakan pula.
amin ya Allah ya rabbal allamin,.....